Jumat, 30 Oktober 2015
Ada temuan, Tanah Kas Desa Dijual Tanpa Prosedur ke JIIPE
Oknum notaris, kepala desa, hingga oknum pejabat Pemkab Gresik terendus ikut bermain dalam pembebasan tanah inprosedural
GRESIK – Satu per satu sinyal ketidakberesan dalam pembebasan tanah untuk proyek Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) muncul ke permukaan. Dari hasil temuan tim investigasi Hitam Putih disertai dokumen pendukung yang dimiliki tim, sejumlah oknum diduga terlibat dalam perkara ini, mulai dari oknum di Pemkab Gresik, notaris, aparatur desa, oknum anggota DPRD Gresik, sampai ke pengusaha.
Pada edisi sebelumnya (Koran Hitam Putih Edisi 35 Tahun II), diulas tentang adanya oknum yang diduga dekat dengan Bupati Sambari memainkan proyek pembebasan lahan di kawasan JIIPE, dengan melakukan manipulasi atau menggandakan data. Oknum yang diketahui bernama H Saiful dan dibantu Bambang ini tidak bermain sendirian. Dia diduga menggandeng beberapa notaris untuk mengeruk banyak keuntungan dari proyek pembebasan lahan tersebut, dengan mengorbankan hak pemilik tanah aslinya.
Semisal tanah oloran seluas 150 hektar di kawasan JIIPE. Dari tanah seluas itu, sekitar 24.620 hektar oleh oknum itu dibuatkan riwayat tanah dengan petok D, dan ditransaksikan atas nama Affandi, lewat notaris Badrus pada tahun 2013. Padahal, tanah itu milik warga yang bernama Zainul Arifin, yang dibuktikan dengan surat-surat kepemilikan tanah.
Temuan lain yang tak kalah menarik ialah dari pembebasan lahan yang hampir 3.000 ha di kawasan JIIPE ini, setidaknya ada 3 tanah kas desa (TKD) yang dibebaskan tanpa melalui prosedur yang semestinya. Diduga, untuk memuluskan aksi ini ada peran oknum kepala desa di dalamnya.
Dalam aturannya proses tukar menukar (ruislag) Tanah kas Desa harus melibatkan instansi Pemerintah terkait dan juga Penilai independen (dalam hal ini Penilai Publik dengan spesialisai di Properti). Namun hal itu diduga dilanggar oleh oknum pejabat desa dan Ipung.
Aturan lain yang dilabrak oknum tersebut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2007, terutama pada pasal 15 ayat 1 yang menyebutkan Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum.
Dari penelusuran tim didukung oleh data konkret, diketahui oknum kepala desa (Kades) yang ikut ‘bermain’ dalam pengadaan tanah demi keuntungan pribadi antara lain Kepala Desa Sungonlegowo, Kades Manyar Rejo, dan Kades Manyar Sidorukun.
Peran mereka cukup rapi, sehingga sedikit masyarakat yang bisa mengendus kejanggalan dalam transaksi jual-beli tanah untuk proyek JIIPE. Tidak hanya tanah kas desa, beberapa temuan semisal satu kasus terkait dengan petok D.
Dalam 1 objek bisa muncul 2 petok D (objek kepemilikan ganda) atas nama pemilik tanah yang asli dan nama orang lain yang sengaja dibuat palsu. Kurang lebih ada 5 objek yang berhasil diendus tim investigasi,
“Tanah dengan sertifikat hak milik (SHM) dijual ke PT BKMS, lalu diobjek yang sama muncul petok D dan dijual lagi. Temuan itu di Desa Betoyoguci, Manyar,” kata salah satu tim investigasi, Yulianto. Selain itu, ada tanah masyarakat berstatus petok D dilepas ke Ipung. Kemudian oleh Ipung dimanipulasi datanya. Dari tanah luasan 9 ha ini, 1 hektar dicuri oleh Ipung, dan 1 ha lainnya diatasnamakan orang lain dengan dalih mutasi kasih.
“Padahal yang dikasih tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan pemilik tanah. Sekarang tanah itu terbit sertifikatnya. Itu melibatkan Kades Manyar Rejo, Yudiono. Yudiono bekerjasama dengan Ipung menerbitkan petok D palsu. Karena banyak transaksi yang tidak benar dalam pembabasan lahan proyek JIIPE, maka BPN tidak mau menerbitkan sertifikat,” ujar Yulianto.
Temuan ini sekaligus mengindikasikan dan menguatkan bahwa proyek JIIPE tidak hanya bermasalah terkait dengan perizinan, tetapi juga soal pembebasan tanah hingga masalah perpajakan. Terkait dengan perpajakannya, data yang dimiliki tim investigasi menyebutkan, transaksi jual-beli tanah antara PT BKMS (Berkah Kawasan Manyar Sejahtera) dan PT BMS (Berlian Manyar Sejahtera) dengan warga melalui H Syaiful atau akrab disapa Ipung diketahui sampai sekarang pajaknya belum terbayarkan. Hanya ada 2 persil yang pajaknya sudah terbayarkan, sisanya belum.
“Warga menjual tanah ke perusahaan untuk proyek JIIPE melalui Ipung semua. Semestinya sejak transaksi dari warga ke Ipung pajaknya sudah bayar. Nyatanya itu semua belum dibayar oleh Ipung. Ini kan sudah tidak benar dan merugikan negara,” kata salah satu tim, Yulianto.
Tidak miliki akta jual-beli
Dari hasil temuan tim, sampai sekarang perusahaan bentukan PT Pelindo III (Persero) dan PT AKR (Aneka Kimia Raya) Land, yakni PT BKMS (Berkah Kawasan Manyar Sejahtera) dan PT BMS (Berlian Manyar Sejahtera) selaku operasional JIIPE belum memiliki akta transaksi jual beli tanah.
Semua berkas transaksi masih berada di notaris Badrus dan Deddy. Harusnya, sesuai prosedur yang ada, 3 hari setelah transaksi semua berkas diserahkan ke pihak perusahaan, yakni PT BKMS atau PT BMS. “Paling banyak transaksi melalui notaris Badrus dan Deddy. Ada lagi notaris Agil. Dia memalsukan akta jual beli tanah salah satu warga Manyar. Tandatangannya dipalsu dengan cara discanner,” jelas Yuli.
Untuk diketahui, JIIPE digadang menjadi proyek prestisius di Gresik, Jawa Timur. Kawasan industri hasil patungan PT Pelabuhan III dan PT AKR Corporindo Tbk, ini dibangun di atas lahan sekitar 2.933 hektar. Ada 3 zona yang sudah disiapkan untuk kawasan ini, yakni zona residential estate seluas 765 hektar (darat), industrial estate seluas 1.761 hektar (darat dan laut), dan sea port estate seluas 406 hektar (di tengah laut).
Sekilas memang kalangan pengusaha dan masyarakat hingga pemerintah dibuat ‘wah’ dengan kehadiran kawasan industri yang diyakini mampu menekan biaya logistik ini. Namun di balik kesan ‘wah’ terdapat kejanggalan demi kejanggalan yang dilakukan oleh segelintir orang demi memperkaya diri seakan meninggalkan kesan negatif terhadap proyek ini. Pembangunan JIIPE dimulai sejak Tahun 2012 dan saat ini pembangunannya mulai banyak disorot oleh berbagai pihak karena beberapa permasalahan mulai muncul kepermukaan, yaitu Perijinan, Pembebasan Lahan, Reklamasi Laut, AMDAL hingga tambang pasir laut madura.
Saat ini, pembangunan pelabuhan terintegrasi ini sudah mencapai 50% padahal seharusnya proyek tersebut ada kajian yang mendalam, karena bila sudah beroperasi nanti akan berpotensi mengganggu Alur Pelayaran Surabaya Barat (APBS) yang selama ini menjadi jalur utama pelayaran yang akan keluar-masuk pelabuhan tanjung perak dan sekitarnya, karena pelabuhan ini sangat menjorok ke tengah lautan mendekti APBS yang sudah sangat padat/krowdit. (dik)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar